
1
Menyebut gudeg Jogja, otomatis ingatan kita akan tertuju pada sebuah kampung yang terletak di sebelah timur Alun-alun Utara Kraton Jogja. Dari kampung inilah, masakan khas yang berbahan dasar ‘gori’ ini menjadi populer hingga seantero dunia. Tak heran wisatawan yang berkunjung ke Jogja rasanya kurang lengkap jika belum menyantap gudeg di tempat ini.
Ketahanan gudeg Wijilan ini memang cocok sebagai oleh-oleh, karena merupakan gudeg kering, maka tidak mudah basi dan mampu bertahan hingga 3 hari. Tak heran jika gudeg dari Wijilan ini sudah “terbang” ke berbagai pelosok tanah air, bahkan dunia.

2
Satu lagi penegas Yogyakarta sebagai kota bercita rasa manis, yaitu penganan bernama ringkas dan sederhana: geplak. Makanan ringan yang satu ini menjadi kuliner trade mark Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bahkan, kabupaten yang terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta ini mendapat julukan istimewa sebagai Kota Geplak.
Rasa penganan yang berbahan dasar daging kelapa muda, gula, dan tepung beras ataupun tepung ketan ini memang mencerminkan predikat dan citra lidah orang Jogja selama ini, yaitu berasa manis, bahkan mungkin terlalu manis bagi lidah yang belum terbiasa. Namun, mungkin karena manisnya inilah geplak justru menjadi salah satu primadona dan oleh-oleh yang paling dicari oleh para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta dan ke Kabupaten Bantul pada khususnya.
Sejarah geplak sendiri tidak lepas dari riwayat banyaknya pabrik gula, perkebunan tebu dan kelapa yang ada di Bantul. Pada era kolonial Hindia Belanda, Bantul terkenal sebagai daerah penghasil gula tebu. Tercatat ada enam buah pabrik gula pada masa itu dan banyak tanah-tanah pertanian yang ditanami tebu. Dari sekian banyak pabrik gula yang terdapat di Bantul, masih ada satu yang masih bertahan sampai sekarang, yaitu pabrik gula Madukismo. Gula tebu yang dihasilkan oleh beberapa pabrik gula dimanfaatkan untuk membuat penganan, yang salah satunya kemudian dikenal dengan nama geplak.

3
Sebagian dari kita mungkin sudah pernah merasakan kelembutan kue moci, penganan yang menjadi salah satu ikon kuliner negeri sakura. Tapi, jika Anda jeli, tak perlu jauh-jauh melawat ke Jepang, negara yang kaya ini sudah menyediakan segalanya. Sempatkanlah berkunjung ke Yogyakarta dan bidik satu dari sekian banyak jajanan khasnya: yangko. Si kecil mungil nan imut dan lembut dengan bahan dasar tepung ketan inilah yang menjadi padanan kue moci namun bercita rasa lokal, asli buatan lentiknya tangan-tangan pribumi Jogja.
Yangko adalah makanan khas dari Kotagede. Kampung yang berjuluk kota perak ini adalah salah satu kota tua dan bersejarah yang terdapat di Yogyakarta. Dahulu, Kotagede adalah ibukota Kerajaan Mataram Islam, sebuah kerajaan besar yang menjadi cikal-bakal Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selain yangko dan kipo yang menjadi simbol kulinernya, di Kotagede Anda akan menemukan banyak hal yang menarik, seperti pusat kerajinan perak dan makam raja-raja Mataram, termasuk di dalamnya petilasan Panembahan Senopati, sang pendiri wangsa Mataram Islam.
Nama yangko diyakini berasal dari kata kiyangko. Dalam pelafalan lidah orang Jawa, kata kiyangko diucapkan dengan singkat menjadi yangko. Konon, orang yang pertama kali mengenalkan yangko adalah Mbah Ireng yang tidak lain adalah kakek buyut Suprapto. Meski Mbah Ireng sudah berinovasi membuat yangko sejak tahun 1921, namun yangko baru mulai dikenal luas oleh masyarakat pada sekitar tahun 1939.

4
Bakpia sebenarnya berasal dari negeri Cina, aslinya bernama Tou Luk Pia, yang artinya adalah kue pia (kue) kacang hijau. Selain itu pula bakpia mulai diproduksi di kampung Pathok Yogyakarta, sejak sekitar tahun 1948. Waktu itu masih diperdagangkan secara eceran dikemas dalam besek tanpa label, peminatnya pun masih sangat terbatas. Proses itu berlanjut hingga mengalami perubahan dengan kemasan kertas karton disertai label tempelan.

5
Bagi sebagian orang, belalang atau dalam bahasa Jawa disebut walang dianggap sebagai serangga untuk pakan burung atau hama yang sering merugikan petani. Tetapi di Gunungkidul, belalang kayu (Valanga nigricornis) ini menjadi primadona bagi warganya, baik sebagai penikmat maupun para pencari rejeki. Selain kaya gizi, belalang kayu merupakan sumber pendapatan yang dapat menambah pemasukan. Menurut penuturan seorang pemburu belalang Gunungkidul, Wardiono, ia lebih memilih bekerja sebagai pemburu belalang daripada menjadi buruh bangunan karena penghasilannya tidak jauh beda. Dalam sehari ia dapat meraup keuntungan berkisar antara 30 - 40 ribu rupiah.
Belalang goreng ini ternyata tidak hanya digemari oleh masyarakat Gunungkidul, tetapi juga masyarakat dari berbagai daerah seperti Magelang, Semarang, dan Solo yang pernah berkunjung ke Gunungkidul. Tingginya minat masyarakat mengonsumsi belalang goreng juga terlihat dari banyaknya pesanan dari luar pulau Jawa seperti dari daerah Pulau Sumatera. Pesanan yang datang pun tidak tanggung-tanggung karena bisa mencapai beribu-beribu ekor. Belalang goreng juga sering dijadikan oleh-oleh masyarakat perantau Gunungkidul saat kembali ke daerah perantauan. Sebut saja Manthos, seorang penyanyi campursari terkenal asal Gunungkidul, yang setiap ke Jakarta pasti membawa oleh-oleh belalang goreng untuk tetangga, handai taulan, dan sahabat-sahabatnya. Alhasil, kuliner khas Gunung Kidul ini semakin terkenal dan penggemarnya pun semakin bertambah hingga ke berbagai daerah.
NB: satu pesen dari ane.... periksa ke'halal'an setiap makanan yang akan anda makan.
aniwe sekian dulu and thanks for commin'
SOURCE :kaskus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar